ABU BAKAR ASH SHIDDIQ
A. MENGENAL ABU BAKAR ASH
SHIDDIQ
Sebelum membahas peristiwa
pembaitan Abu bakar sebagai Khalifah pertama umat Islam sepeninggal Rasulullah
Saw. maka kita haruslah terlebih dahulu mengenal sosok Abu bakar.
Mulai dari pribadi beliau sebelum Islam dan setelah Islam. Bagaimana perjuangan
dan pengorbanan serta kesetiaan beliau terhadap Islam dan Nabi Muhammad
Saw. sehingga sampai umat islam pun membaiat beliu menjadi khalifah. Dan
juga dalam sejarah perjuangan sahabat yang mulia ini akan banyak kita
temukan berbagai macam pelajaran dan hikmah yang amat sangat berharga bagi
setiap pribadi muslim.
1. ABU BAKAR ASH SHIDDIQ
SEBELUM ISLAM
Sosok Abu Bakar As Shiddiq
dikenal sebagai shahabat dekat Rasulullah, dan merupakan orang yang paling
dicintai oleh Rasulullah SAW. beliau menjadi orang yang sangat berjasa besar
dalam penyebaran risalah Islam.lalu siapakah sebanarnya Abu Bakar ini?
Adapun nama aslinya adalah
Abdullah bin Utsman bin ‘Amir bin Amru bin Ka’ab bin Saad bin Taim bin
Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib al-Quraishi at-Taimi. Bertemu
nasabnya dengan nabi SAW pada kakeknya Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Ayahnya Abu
Qahafah baru masuk Islam pada peristiwa Fathu Makkah. Adapun ibu beliau adalah
Ummu al-Khair salma binti Shakhr bin Amir bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim yang
berarti ayah dan ibunya sama-sama dari kabilah bani Taim. Ummu
al-Khair masuk Islam di awal kemunculan Islam.
Abu Bakar adalah ayah dari
‘Aisyah RA, istri Nabi Muhammad. Awalnya nama beliau adalah
Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Nabi Muhammad
Saw. menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Adapun gelar Abu bakar adalah
karena beliau adalah laki-laki pertama yang masuk Islam, yang kemudian mendapat
gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata benar') karena beliau adalah orang
yang selalu meyakini dan memebenarkan setiap yang disampaikan Rasulullah Saw.
Terutama setelah Abu Bakar menjadi orang pertama yang langsung membenarkan
peristiwa Isra Mi’raj, sehingga jadilah nama beliau sebagaimana kita kenal saat
ini "Abu Bakar Ash-Shiddiq".
Abu Bakar dilahirkan
setelah tahun Gajah, maka beliau lebih muda dari Rasulullah karena Rosul
dilahirkan di tahun Gajah. Tetapi para ulama bersilang pendapat mengenai jarak
waktu antara tahun gajah denga waktukelahiran beliau. Diantara ulama ada
yang berpendapat bahwa beliau dilahirkan 3 tahun selepas tahun Gajah, ada
yang mengatakan 2 tahun 6 bulan, ada yang berpendapat 2
tahun beberapa bulan tanpa menetapkan jumlah bulannya.
Beliau hidup dalam
lingkungan keluarga yang baik dan mulia di antara kaumnya. Bahkan Abu Bakar
temasuk salah satu pembesar Quraisy dari Bani Taim. Dia menjadi orang yang
mulia dan terkemuka di kaumnya. Bahkan sebelum Islam Abu Bakar terkenal sebagai
orang yang mampu menjaga diri dari perilaku perilaku jahiliyah seperti minum
khamr, zina, dan bahkan diriwayatkan bahwa beliau termasuk orang yang tidak
pernah bersujud kepada berhala.[1]
Dalam hal keilmuan pun Abu
Bakar terkenal seorang ahli nasab[2].
Dia bahkan menjadi rujukan dan guru para ahli nasab di zamannya seperti ‘Uqail
bin Abi Thalib dan yang lainnya. Dan Rasulullah pernah bersabda mengenai hal
ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah R.A.
إن أبا بكر
أعلم قريش بأنسابها [3]
“Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang Quraisy yang
paling mengetahui nasab-nasab mereka.”
Beliau juga terkenal
sebagai saudagar kaya yang sering berdagang ke negeri Syam. Beliau menjadi
sahabat Rasulullah sejak dari kecil hingga dewasa, bahkan dalam dunia
perdagangan saat Rasulullah menjadi pedagang.
2. ABU BAKAR AS SHIDDIQ
SETELAH MASUK ISLAM.
Abu Bakar termasuk orang
yang menjaga diri di masa jahiliyah. Dia tidak pernah bersujud kepada berhala
dan bahkan berusaha mencari agama yang benar dan sesuai dengan fitrah
yang suci. Dengan profesinya sebagai pedagang, beliau sering melakukan perjalan
jauh ke berbagai wilayah. Dalam perjalananya inilah beliau selalu berhubungan
dengan penganut berbagai agama demi mencari agama yang paling benar sesuai
fitrah manusia. Maka banyak penulis yang sering menuliskan bahwa keimanan Abu
Bakar lahir dari perjalanan perncariannya terhadap agama yang
lurus sesuai fitrah.
Dikisahkan pula bahwa
beliau sering berbincang dengan orang-orang yang masih berpegang pada ajaran
tauhid semisal Waraqah bin Naufal dkk. Abu Bakar pernah bercerita bahwa ketika
dia duduk di sekitar Ka’bah, saat itu ‘Amru bin Nufail juga sedang duduk.
Kemudian lewatlah Umayyah ibnu Abi As Shalt dan bertanya: “Bagaimana kabarmu
wahai pencari kebaikan?” (maksudnya pencarian agama yang benar) lalu beliau
menjawab: “Baik” maka Ibnu Abi Shalt pun bertanya kembali: “Apa kamu sudah menemukannya?”
dan beliau pun menjawab: “Belum”[4]
a. Sampainya Dakwah
kepada Abu Bakar Ash Shiddiq.
Abu Bakar merupakan orang
yang sangat dekat dan memiliki hubungan yang kuat dengan Rasulullah Muhammad
Saw. di masa jahiliyah. Maka ketika Rasulullah mengajaknya kepada Islam
Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang langsung menerima Islam tanpa
sedikitpun keraguan. Adapun kisah keIslaman beliau adalah sebagai berikut:
ثم إن أبا
بكر الصدِّيق لقي رسول الله فقال: «أحق ما تقول قريش يا محمد؟
مِن تركك آلهتنا، وتسفيهك عقولنا، وتكفيرك آبائنا؟»، فقال رسول الله :
«بلى، إني رسول الله ونبيه، بعثني لأبلغ رسالته وأدعوك إلى الله بالحق، فوالله إنه
للحق، أدعوك يا أبا بكر إلى الله وحده لا شريك له، ولا تعبد غيره، والموالاة على
طاعته»، وقرأ عليه القرآن، فلم يقر ولم ينكر، فأسلم وكفر بالأصنام، وخلع الأنداد
وأقر بحق الإسلام، ورجع أبو بكر وهو مؤمن مصدق
“Kemudian Abu Bakar menemui Rasulullah Saw. seraya
bertanya: “Apakah benar yang dikatakan oleh kaum Quraisy wahai Muhammad? Bahwa
engkau telah meninggalkan tuhan-tuhan kami, membodohkan akal kami, dan
mengkafirkan orang tua kami?” Rasulullah menjawab: “Benar, sesungguhnya aku
adalah utusan Allah dan nabiNya, Allah mengutusku untuk menyampaikan risalahNyadan
mengajakmu menunju Allah dengan benar. Demi Allah ini adalah risalah yang
benar. Aku mengajakmu wahai Abu Bakar kepada Allah yang Maha Esa tiada sekutu
bagiNya, dan janganlah engkau menyembah selainNya dan agar selalu setia dalam
ketaatan kepadaNya.” Kemudian Rosul membacakan Al-Quran dan Abu Bakar
tidak mengakui dan tidak pula mengingkari. Kemudian dia masuk Islam
dan mengingkari berhala, menanggalkan sekutu-sekutu Allah dan mengakui
kebenaran Islam. Dan Abu Bakar pun pulang dalam keadaan sebagai seorang mukmin
yang membenarkan.”
Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah
wa Nihâyah menyebutkan beberapa riwayat yang mengatakan bahwa Abu
Bakar adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan laki-laki. Beliau
juga merupakan orang yang pertama kali shalat bersama Nabi Saw.
b. Perannya setelah masuk
Islam
Setelah menyatakan dirinya
masuk Islam, Abu bakar menjadi orang yang sangat besar peranannya dalam
penyebaran risalah dan dakwah Islam. Banyak dari sahabat-sahabat
besar yang masuk Islam melalui Abu Bakar Ah Shiddiq. Diantaranya adalah Zubaeir
bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqash,
Utsman bin Math’un, Abi Ubaidah bin Jarah, Abi salamah bin Abdul Asad, Al Arqam
ibnu Abi’l Arqam. Abu Bakar juga mengajak keluarganya untk memeluk Islam dan
berhasil mengIslamkan putrinya Aisyah dan Asma’, putranya Abdullah, Istrinya
Ummu Rumman, juga pembantunya Amir bin Qahirah.
Abu Bakar menjadi
pendamping Rasulullah dalam perjalanan dakwah beliau. Abu Bakar belajar bahwa
Islam adalah amal, dakwah dan jihad. Keimanan baginya tak hanya cukup dengan
sekedar percaya belaka, namun lebih dari itukeimanan takkan pernah sempurna
sehingga seorang muslim menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah SWT
162. “Katakanlah:
Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam.”
163. “Tiada
sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".[5]
Dan Abu Bakar pun menjadi
sahabat Rasulullah yang berperan sangat besar dalam penyebaran
risalah Islam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA. Bahwa
ketika umat Islam masih berjumlah 38 orang, Abu Bakar mendesak Rasulullah agar
umat Islam tidak lagi menyembunyikan keIslamannya. Meski Rasul sendiri awalnya
menolak usulan ini, namun Abu Bakar terus mendesak hingga Rosul pun menerima
usulan ini. kemudian ketika berada di Masjidil Haram Abu Bakar pun berpidato
sedang Rasulullah duduk. Maka dari itu Abu Bakar adalah orang yang pertama
kali berpidato mengajak kepada Islam. Ketika itu orang-orang musyrik segera
mengeroyok beliau hingga beliau pun babak belur, tapi beruntung Bani Taim
segera datang dan menyelamatkannya dari amukan kaum musyrikin. Ketiak itu bani
Taim yang melihat luka-luka Abu Bakar yang parah menghawatirkan kalau Abu Bakar
akan meninggal. Sehingga mereka kembali ke Masjid dan memberikan
pengumuman bahwa kalau sampai Abu Bakar meninggal maka mereka akan membunuh
Uqbah bin Rabi’ah.
Saat abu bakar siuman,
bani Taim pun berusaha menanyainya namun Abu Bakar terus
menyanyakan bagaimana keadaan Rasulullah. Dan Ummu Khair (ibu Abu Bakar)
diminta untuk membujuknya agar mau makan. Namun ia tetap saja terus menanyakan
Nabi Muhammad Saw. karena ibunya memang tak tau menahu tentang keadaan Rosul,
maka Abu Bakar memintanya untuk menayakannya kepada Ummu Jamil binti Khattab.
Ummu Jamil pun datang menemui Abu Bakar dan mengabarkan padanya bahwa
Rasulullah selamat, baik-baik saja dan sekarang sedang berada di Darul Arqam.
Ketika itu Abu bakar pun meminta untuk menemui Rasulullah di Darul Arqam.
Rasulullah dan kaum Muslimin menyambut hangat kedatangan beliau. Saat itulah ia
meminta agar Rasulullah mengajak ibunya untuk masuk Islam dan mendoakannya agar
bisa terselamatkan dari siksa neraka. Kemudian Rosulpun mendoakan dan
mengajaknya kepada Islam. Ummu Khair pun masuk Islam.
Itu hanyalah salah
satiu contoh kecil dari ribuan kisah perjuangan Abu Bakar dalam dakwah dan
penyebaran Risalah Islam bersama Rasulullah. Masih ada banyak lagi kisah-kisah
perjuangan Abu Bakar dalam membela Islam dan Rasulullah Saw. mulai dari
siakpnya yang selalu membela dan pendamping Rasulullah dari berbagai intimidasi
dan hinaan kaum musyrikin, pengorbanan beliau dalam menginfakkan hartanya di
jalan Allah, membebaskan budak muslim dari siksaan kaum musyrik, infak beliau
dalam persiapan Jihad di jalan Allah, keberaniannya dalam berbagai pertempuran
dan peperangan, perjalanan beliau menemani Rosululah dalam hijrahnya menuju
Madinah yang penuh tantangan sekaligus hikmah dan pelajaran. Dan
masih banyak lagi yang lain yang tidak bisa kesemuanya itu kami sampaikan dalam
makalah singkat ini.
Demikianlah
sejarah singkat Abu bakar Ash Shiddiq. Keteguhan beliau dalam membela dan
mendampingi Rasulullah ini menjadikan beliau menjadi orang yang paling dekat
dan dicintai oleh Riosulullah. Sehingga tak heran ketika kabar Isra’ Mi’raj
sampai kepadanya tak ada keraguan sedikitpun dalam hatinya seraya
mengtakan “Jika yang mengatakannya adalah Nabi Muhammad maka itu pasti
benar”. Tah heran ketika QS. An-Nasr turun, beliau menjadi orang pertama yang
menangis karena menyadari bahwa sahabat dekatnya akan segera meninggalkannya menghadap sang
Khaliq. Tak heran juga jika Rasulullah pun menjadikan belaiu sebagai Imam
mengantikan Rasulullah saat terbaring sakit. Dan tak heran pula, jika umat
islam pun membaiat beliau menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah Saw..
B. ABU BAKAR DIBAIAT MENJADI
KHALIFAH
Wafatnya
Rasulullah Saw. mengejutkan seluruh umat Islam bahkan banyak dari kalangan
shahabat yang tidak mempercayai kabar ini. sehingga banyak yang bingung
menyikapi peristiwa besar ini. banyak dari para Shahabat yang tertunduk lesu
tak mampu menegakkan kakinya, banyak yang lidahnya kelu tak bisa berkata-kata,
bahkan ada yang mengingkari hal ini dan bahkan ada pula yang sampai mengatakan
bahwa Rasulullah tidaklah meninggal, beliau hanya pergi untuk menemui Rabbnya
sebagaiman Musa AS menemui Rabbnya selama 40 hari. Bahkan umar pun mengangkat
pedangnya dan bersumpah akan menebas siapapun yang mengatakan Rasulullah
meninggal.
Bahkan Imam
Qurthuby mengisahkan betapa besarnya musibah ini, seraya menjelaskan bahwa
sebesar-besar musibah adalah musibah yang menimpa agama. Dan wafatnya Roslullah
merupakan musibah besar yang menimpa agama ini. Rasulullah bersabda:
إذا أصاب أحدكم مصيبة فليذكر مصابه بي
فإنها أعظم المصائب
“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah
maka hendaklah ia menginga musibahnya dengan musibah yang menimpaku,
sesungguhnya (musibah yang menimpaku) inilah sebesar-besarnya musibah.”[7]
Dan sungguh benar
apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. ini. karena umat Islam ketika
ditinggalkan oleh beliau mulai menghadapi musibah besar yang tiada henti.
Karena dengan wafatnya Rasulullah maka terputuslah wahyu, berakhirlah kenabian,
dan merupakan awal munculnya para nabi palsu, banyak umat Islam yanng murtad,
dan ini menjadi titik kemunduran pertama setelah sebelumnya umat Islam berhasil
mencapai puncaknya.
Disinilah mulai
terlihat kepiawaian Abu Bakar Ash Shidiq yang dengan tenang mampu menghadapi
musibah besar ini. beliau segera berpidato membacakan ayat Allah
menenangkan kaum muslimin. Beliau pun mengatatkan dalam pidatonya bahwa
sesungguhnya barang siapa menyembah Nabi Muhammad Saw. maka sesungguhnya Nabi
Muhammad Saw. telah meninggal dan barang siapa menyembah Alla SWT maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Hidup dan tak akan pernah mati, kemudian beliau
membacakan QS. Ali Imran[3]: 144
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh Telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat
atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke
belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun,
dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
1. Pertemuan di Saqîfah Bani Sa’idah
Setelah berita wafatnya
Rasulullah menyebar, para sahabat mulai bertanya-tanya mengenai siapakah yang
akan menggantikan kepemimpinan umat Islam nantinya. Mengingat bahwa ini
merupakan masalah yang penting bagi kaum Muslimin. Maka di hari itu
pula, berkumpullah kaum Anshar di Saqîfah atau tempat
pertemuan Bani Sa’idah. Saat kaum Muhajirin mengetahui hal ini, mereka pun
segera menyusul untuk mengikuti pertemuan ini.
Di dalam perjalanannya
menuju Saqîfah Bani Sa’idah ini Umar menceritakan bahwa mereka
bertemu dengan dua orang laki-laki shalih. Dua orang ini bertanya: “Hendak
kemanakah kalian wahai kaum Muhajirin?” kami menjawab: “Kami hendak menemui
saudara-saudara kami di Saqîfah bani Sa’idah.” Keduanya
pun mengingatkan agar kaum Muhajirin mengurungkan niatnya untuk pergi ke saqîfah ini.
Namun kami tetap bersikukuh untuk pergi kesana. Ketika sampai kami melihat
seseorang yang sedang terbaring berselimut berada dalam majlis itu. Aku (Umar)
bertanya: “Siapa ini?” mereka menjawab: “Dia adalah Sa’ad bin Ubadah.”
Setelah kami duduk sejenak salah seorang dari mereka berrpidato dengan
menyatakan akan keutamaan kaum Anshar yang telah menjadi penolong Rasulullah
dan membawa Islam menuju kemajuan seraya mengingatkan agar kaum Muhajirin tidak
mengeluarkan kaum Anshar dalam masalah khilafah. Saat itu aku telah menyiapkan
kata-kata yang menurutku paling indah untuk aku sampaikan. Namun saat itu
Abu Bakar mencegahku dan dia menyampaikan kata-kata yang jauh lebih indah dari
yang hendak kusampaikan. Kemudian ia menyampaiakan hadits nabi tentang siapa
yang berhak dalam perkara ini. Maka Kaum Anshar pun menerimanya.
Setelah Abu Bakar selesai berpidato dalam saqîfah Bani
Sa’idah dia pun mengajukan Umar dan Abu Ubaidah sebgai Khalifah. Tapi Umar juga
menolaknya dan membenci hal itu. Umr juga mengatakan bahwa jikalau lehernya
dipenggal, itu tidaklah cukup untuk dibandingkan jika dia harus menjadi
pemimpin dimana Abu Bakar ada di dalam kaum tersebut. Maka ketika itu Umar pun
membaiat Abu Bakar dan kaum Muhajirin pun mengikutinya, kemudian kaum Anshar
berikutnya.
2. Baiat ‘Ammah terhadap Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar mendapat
baiat dalam pertemuan di saqîfah Bani Sa’idah, di hari
berikutnya umat Islam pun melaksanakan baiat Ammah terhadap Abu Bakar. Dalam
riwayat dari Annas bin Malik ia mengatakan bahwa saat itu Umar berdiri sedang
Abu Bakar duduk, dia berpidato seraya menyebutkan keutamaan Abu
bakar yang telah menjadi orang terdekat Rasulullah, yang menemani beliau dalam
gua, yang menggantikan beliau sebagai iman saat beliau sakit. Kemudian Umar pun
meminta agar kaum muslimin untuk membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat
Islam. Saat itulah kaum muslimin membaiat Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar pun
ganti berpidato di hadapan seluruh kaum muslimin saat itu. Dan bersatulah
seluruh umat Islam dalam kepemimpinan Abu Bakar RA.
C. SYUBHAT SEPUTAR BAIAT ABU
BAKAR ASH SHIDDIQ.
Dalam baiat Abu Bakar sebagai khalifah terdapat
beberapa hal yang sering menjadi perdebatan, diantanya adalah:
1. Sikap Saad bin Ubadah
Terhadap Baiat Abu Bakar.
Saad bin Ubadah telah
membaiat Abu Bakar di Saaqifah Bani Sa’idah dan tidak pernah ada satu riwayat
pun yang shahih mengenai adanya perselisihan selepas baiat Abu Bakar. Tidak
pernah ada perpecahan di kalangan umat Islam dalam hal ini.
Beberapa buku sejarah ada
yang mengisahkan bahwa Saad bin Ubadah menentang kaum Muhajirin dalam masalah
khilafah dan menginginkan dirinya menjadi khalifah, namun ini tidaklah ada
dasarnya sama sekali. Jika kita mengetahui siapa sebenarnya Saad bin Ubadah
dan perjalannya bersama Rasulullah. Akan kita dapati dirinya adalah termasuk
orang-orang pilihan yang tidak pernah menjadikan dunia sebagai tujuannya. Dia
termasuk dalam orang yang mengikuti Baiat ‘Aqabah II dan merupakan tentara
perang badar yang mana telah diketahui bersama bagaiman kedudukan tentara badar
dalam Islam. Maka jelaslah bagaimana pengorbanan dan perjuangan Saad bin Ubadah
dalm Islam. Maka tidaklah mungkin baginya untuk menjadi orang yagn justru
menyulut ashobiah jahiliyah ke dalam masyarakat Anshar.
Telah jelas riwayat yang
menyatakan bahwa Saad telah membaiat Abu Bakar dalam pertemuan di saqîfahBani
Sa’idah. Dimana ketika Abu bakar berpidato dengan menunjukan besarnya kedudukan
kaum Anshar dalam Islam melalui hadits-hadits nabi, lalu Abu Bakar pun
menyampaikan sebuah hadits kepada Saad.
ولقد علمت يا سعد أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال وأنت قاعد : ]قريش ولاة هذا الامر , فبرّالنّاس تبع لبرّهم وفاجرهم تبع لفاجرهم[ قال سعد : صدقت نحن الوزراء وأنتم الأمراء , فتتابع القومعلى البيعة وبايـــع سعد
“Dan engkau telah mengetahuinya wahai Saad, bahea
Rasulullah pernah bersabda dimana engkau dalam keadaan duduk: “Kaum Quraisy lah
yang berhak dalam perkara ini, dan baiknya umat manusia mengikuti pada baiknya
mereka dan keburukan manusia mengikuti keburukan mereka.” Saad pun berkata:
“Engkau Benar, kami adalah mentri dan kalianlah peminpin.” Maka mereka pun
berbaiat dan saad pun berbaiat.”[9]
Dan dengan ini jelaslah
mengenai sikap Saad dalam pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah. Dan
dengan begitu jelaslah bahwa kaum Anshar telah bersepakat (baca; ijmak) dalam
pengangkatan Abu Bakar.
2. Sikap Ali dan Zubeir
Terhadap Baiat Abu Bakar
Muncul banyak
cerita terutama dari kalangan Syiah, bahwa Ali dan Zubeir terlambat
dalam membaiat Abu Bakar. Dan jelas semua ini tidaklah benar adanya.
Adapun riwayat yang benar akan hal ini adalah dari Ibnu Abbas RA. bahwa Ali dan
Zubeir bersama beberapa orang lainnya berada di rumah Fatimah RA. dimana
beberapa orang dari kaum Muhajirin ini tengah sibuk mengurusi jenazah
Rasulullah Saw. terutama Ali bin Abi Thalib RA. mulai dari memandikan dan
mengkafani jenazah beliau.
Adapun mengenai waktu baiat
Ali dan Zubeir terhadap Abu Bakar. Keduanya membaiat Abu Bakar paha hari baiat
‘ammah bersama dengan kaum muslimin yang lain. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Sa’id Alkhudri beliau menceritakan bahwa pada saat baiat ammah, Abu
Bakar tidak melihat Zubeir maka belaiu meminta untuk dipanggilkan Zubeir. Dan
didatangkanlah Zubeir yang kemudian membaiat Abu Bakar. Begitu pula dengan Ali
bin Abi Thalib RA.[10]
D. HIKMAH DAN KESIMPULAN.
Setelah membahas permaslahan baiat umat Islam terhadap
khalifah pertama umat Islam yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, kita bisa menyimpulkan
bahwa dalam pembaiatan ini –berdasarkan riwayat yang shahih– tidaklah ada
perselisihan ataupun perpecahan dalam diri Umat Islam, baik Anshar maupun
Muhajirin. Baiat tersebut telah menjadi ijmak kaum muslimin secara menyeluruh
tanpa ada yang menginggatinya.
Adpun pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa
pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah diantaranya:
1. Kepiawaian Abu Bakar dalam
Menyampaikan Kebenaran.
Setelah
Rasulullah wafat, umat Islam berada di ambang pintu perpecahan. Abu Bakar yang
saat itu berada dalam pihak yang benar, ketika melihat kondisi yang cukup
tegang, beliau berhasil menarik hati kaum Anshar dan mengawali pidatonya dengan
melunakkan hati Anshar dan menengakan keadaan. Barulah setelah itu ia
menyampaikan kebenaran akan hadits tentang siapa yang berhak dalam urusan
kekhalifahan ini.
Kita
semua tentu meyakini bahwa kita berada dalam jalan yang benar. Namun dalam
dakwah, Abu Bakar telah memberikan contohnya, bahwa kebenaran haruslah
disampaikan dengan cara yang benar sehingga tidak malah menimbulkan perpecahan
yang justru merugikan. Begitulah kebenaran yang disampaikan dengan jalan yang
tidak benar akan sulit untuk membuahkan kebaikan.
2. Zuhudnya Umar dan Abu Bakar
dalam Masalah Khilafah dan Pentinggnya Menjaga Persatuan.
Sebgaimana
telah dikisahkan di atas mengenai pidato Abu Bakar di Saqîfah Bani Sa’idah,
yang kemudian belaiu mengajukan Umar dan Abu Ubaidah. Umar pun menolak dan
kemudian dibaiatlah Abu Bakar sebagai khalifah. Di sini kita bisa saksikan
kezuhudan Umar dalam masalah ini. Adapun Abu Bakar, beliau setelah dibaiat
menajdi khalifah sering kali dalam pidatonya mengatakan bahwa dirinya tidak
pernah berharap menjadi seperti itu. Dan ia telah mengjukan Umar dan Abu
Ubaidah untuk menjadi khalifah. Beliau juga sering mengisyaratkan keberatannya
dalam hal ini. sampai saking seringnya akhirnya beliau diminta untuk tidak lagi
menyampaikan hal tersebut.
Sejarah Masa Khalifah Umar Bin
Khattab
SEJARAH ISLAM MASA
AMIRUL MUKMININ UMAR BIN
KHATTAB
1. Umar
sebelum menjadi Khalifah.
Sebelum Masuk Islam:
· Menurut Imam al-Dzahabi, Umar
bin Khattab lahir pada tahun ke-13 setelah Tahun Gajah.
· Anak dari Khattab (Banu Adi) seorang yang
pemberani, cerdas, & sangat dihormati Quraisy dan Ibunya,
Hantamah bint Hisyam ibn al-Mughirah; jadi, adiknya Abu Jahl, dan Umar termasuk
misanan Khalid ibn al-Walid dari pihak ibu, yang berasal dai Banu Makhzum.
· Perekonomiannya menengah-bawah, sejak kecil dia
harus membantu ayahnya untuk menggembalakan unta atau kambing, dan mengangkat
kayu bakar, dan biasanya menggunakan pakaian yang sangat pendek terbuat dari
bahan yang sangat kasar.
· Sejak kecil dia dididik dengan baca tulis, puisi,
berkuda, teknik pedang, dan tidak lupa dia juga disuruh untuk menggembala
kambing.
· Ayahnya mendidiknya dengan keras (tidak ada
kompromi untuk suatu kesalahan).
· Hobinya adalah bergulat, minum khamr, bersama
wanita2 (terutama saat bulan Haram) dan menunggang kuda.
· Dia sebenarnya pedagang, tapi tidak bisa kaya sebab
kurang bisa bergaul dengan baik, dan setiap ke Syam dia lebih suka berdiskusi
menambah pengetahuan dari pada menfokusi perdagangannya.
· Dia adalah orang yang sangat membenci Islam
sebab Islam telah memecah bangsanya bentuknya dengan
menganiaya budak islam, ingin membunuh Muhammad.
Masuk Islam & Perjuangan pada
masa Nabi:
· Menurut
Imam al-Dzahabi dan masuk Islam pada usia 27 tahun.
· Masuk islamnya adalah saat dia mendengarkan
kebenaran ayat-ayat Allah (QS. Thaha (20): 1 – 8) dan QS. 69:42-47 à kesadaran ilmiah.
· Setelah masuk islam dialah yang pemberani dan
banyak jasa dalam islam:
~ Terang-terangan
masuk islam & Hijrah.
~ Mengikuti
perang-perang penting (Badr, Uhud, dll).
~ Berani berbeda
dengan Nabi, bahkan sering kali pendapatnya menjadi sebab turunnya ayat c: ayat
tentang tawanan perang, ayat tentang Hijab, ayat tentang istri-istri Nabi, dll.
Perjuangan pada masa Khalifah Abu
Bakar:
· Orang yang pertama kali membaiat Abu Bakar
(menyelamatkan umat islam dari perpecahan).
· Menjadi Wazir/ wakil dari Abu Bakar, yang
seringkali memberikan sumbangan saran/ pendapat kepada Khalifah Abu Bakr dalam
memecahkan masalah.
· Bahkan sering berbeda pendapat c: pengangkatan
Usamah, perang melawan orang yang tidak mau membayar zakat, sikap terhadap
Khalid bin Walid, dll à tapi tetap obyektif &
bisa mendudukkan dengan baik.
2. Proses
terpilihnya Umar bin Khattab menjadi Khalifah.
· Pada saat sakit, Abu Bakr sadar bahwa
potensi hidupnya tidak lama lagi, dab dia harus segera memilih pemimpin
penggantinya, karena dia tidak ingin peristiwa Tsaqifah Banu Saidah terjadi
lagi.
· Kemudian Abu Bakr yang sudah
mengantongi calonnya yakni Umar bin Khattab, mengajak diskusi beberapa sahabat
penting saat itu.
Abdurrahman ibn
‘Awf
: “Dialah yang
mempunyai pandangan terbaik, tetapi dia terlalu keras.”
Utsman ibn Affan
: “Isi hatinya
lebih baik daripada lahirnya. Tak ada orang yang seperti dia di kalangan
kita.”.
Thalhah ibn
Ubaidillah
: “Sudah Anda lihat
bagaimana ia menghadapi orang padahal Anda ada di sampingnya. Bagaimana pula
kalau sudah Anda tinggalkan?”
Juga dengan Sa’id ibn Zaid ibn
Amr, Usaid ibn Hudzair, dan beberapa pemuka Muhajirun dan Anshar.
Keluhan Abu
Bakar: “Saya
menyerahkan persoalan ini kepada orang yang terbaik dalam hatiku. Tetapi,
kalian merasa kesal, karenanya menginginkan yang lain… Ya Allah, yang
kuinginkan untuk mereka hanyalah yang terbaik untuk mereka. Aku khawatir mereka
dilanda kekacauan.”
Sejumlah orang mendukung
pilihannya.
· Tampaknya, para Sahabat pun belum dapat
sama sekali menanggalkan persepsi mereka masing-masing terhadap Umar bin
Khattab, yang pada intinya mereka agak keberatan dengan sikap umar yang terlalu
keras.
· Akhir cerita: Abu Bakar berwasiat agar
Umar bin Khattab menjadi penggantinya.
· Reaksi muncul, tetapi agaknya Anshar
ada di belakang Umar, Quraisy lain mungkin “tak berani” mengajukan klaim-klaim
hak mereka.
3. Pidato
politik Umar bin Khattab dan pembaiatan umat islam kepadanya.
· Umar menangkap adanya keberatan dari
sahabat Nabi terhadap sikapnya yang keras, oleh karena itu, dalam pidato
politiknya Umar berusaha meyakinkan kepada umat islam akan kepemimpinannya, dan
ternyata dengan komunikasi yang baik, Umar berhasil meyakinkan umat islam saat
itu yang kemudian mendukungnya.
PIDATO AWAL AMIRUL MUKMININ
"Saya mendapat kesan,
orang merasa takut karena sikap saya yang
keras. Kata mereka Umar
bersikap demikian keras kepada kami, sementara
Rasulullah masih berada di
tengah-tengah kita, juga bersikap
keras demikian sewaktu Abu
Bakr menggantikannya. Apalagi sekarang,
kalau kekuasaan sudah di
tangannya. Benarlah orang yang berkata
begitu.
"... Ketika itu saya
bersama Rasulullah, ketika itu saya budak dan
pelayannya. Tak ada orang yang
mampu bersikap seperti Rasulullah,
begitu ramah, seperti
difirmankan Allah: Sekarang sudah datang
kepadamu seorang rasul dari
golonganmu sendiri: terasa pedih hatinya
bahwa kamu dalam penderitaan,
sangat prihatin ia terhadap kamu,
penuh kasih sayang kepada orang-orang
beriman. (Qur'an, 9:128) Di
hadapannya ketika itu saya
adalah pedang terhunus, sebelum disarungkan
atau kalau dibiarkan saya akan
terus maju. Saya masih bersama
Rasulullah sampai ia berpulang
ke rahmatullah dengan hati lega terhadap
saya. Alhamdulillah, saya pun
merasa bahagia dengan Rasulullah.
"Setelah itu datang Abu
Bakr memimpin Muslimin. Juga sudah
tidak asing lagi bagi
Saudara-saudara, sikapnya yang tenang, dermawan
dan lemah lembut. Ketika itu
juga saya pelayan dan pembantunya. Saya
gabungkan sikap keras saya
dengan kelembutannya. Juga saya adalah
pedang terhunus, sebelum
disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus
maju. Saya masih bersama dia
sampai ia berpulang ke rahmatullah dengan
hati lega terhadap saya.
Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia
dengan Abu Bakr.
"Kemudian sayalah, saya
yang akan mengurus kalian. Ketahuilah
Saudara-saudara, bahwa sikap
keras itu sekarang sudah mencair. Sikap
itu hanya terhadap orang yang
berlaku zalim dan memusuhi kaum
Muslimin. Tetapi buat orang
yang jujur, orang yang berpegang teguh
pada agama dan berlaku adil
saya lebih lembut dari mereka semua.
Saya tidak akan membiarkan
orang berbuat zalim kepada orang lain
atau melanggar hak orang lain.
Pipi orang itu akan saya letakkan di
tanah dan pipinya yang sebelah
lagi akan saya injak dengan kakiku
sampai ia mau kembali kepada
kebenaran. Sebaliknya, sikap saya yang
keras, bagi orang yang bersih
dan mau hidup sederhana, pipi saya ini
akan saya letakkan di tanah.
"Dalam beberapa hal,
Saudara-saudara berhak menegur saya.
Bawalah saya ke sana; yang
perlu Saudara-saudara perhatikan, ialah:
"Saudara-saudara berhak
menegur saya agar tidak memungut pajak
atas kalian atau apa pun yang
diberikan Allah kepada Saudara-saudara,
kecuali demi Allah;
Saudara-saudara berhak menegur saya, jika ada
sesuatu yang di tangan saya
agar tidak keluar yang tak pada tempatnya;
Saudara-saudara berhak
menuntut saya agar saya menambah penerimaan
atau penghasilan
Saudara-saudara, insya Allah, dan menutup segala
kekurangan; Saudara-saudara
berhak menuntut saya agar Saudarasaudara
tidak terjebak ke dalam
bencana, dan pasukan kita tidak terperangkap ke tangan musuh; kalau
Saudara-saudara berada jauh dalam
suatu ekspedisi, sayalah yang
akan menanggung keluarga yang menjadi
tanggungan Saudara-saudara.
"Bertakwalah kepada
Allah, bantulah saya mengenai tugas Saudara-saudara,
dan bantulah saya dalam tugas
saya menjalankan amar ma 'ruf
nahi munkar, dan bekalilah
saya dengan nasihat-nasihat Saudara-saudara
sehubungan dengan tugas yang
dipercayakan Allah kepada saya
demi kepentingan
Saudara-saudara sekalian. Demikianlah apa yang
sudah saya sampaikan, semoga
Allah mengampuni kita semua."
4. Gambaran
umum ekspansi islam di era Umar bin Khattab[1]:
634 M:
· Kekuatan Bizantium dikalahkan di Syiria
Selatan.
635 M:
· Damaskus direbut, dan disusul oleh
beberapa kota Syiria yang lainnya.
636 M:
· Perang Yarmuk, dekat sungai Yordan,
menghancurkan sebuah pasukan militer Bizantium yang kuat yang dipimpin oleh
saudara Kaisar, yang terbunuh; setelah itu Syiria terbuka; Damaskus direbut
kembali.
637 M:
· Perang Qâdisiyyah, dekat Hirah,
menghancurkan tentara Sâsâni yang kuat yang dikomando oleh jenderal utama
Rustam yang terbunuh; Irak sebelah barat Tigris terbuka; ibukota Sâsâni,
Ctesiphon (Mada’in), Yerusalem direbut; Bashrah dan Kufah didirikan sebagai
kota-kota garnisun.
640 M:
· Caesarea (pelabuhan dekat Palestina)
akhirnya direbut, tidak ada kekuatan Bizantium apapun yang tersisa di Syria, Mesir
diserbu (berakhir tahun 639) Khûzistân direbut.
641 M:
· Mosul direbut; tidak ada kekuasaan
Sâsâni apapun yang tersisa di sebelah barat pegunungan Zagrosi; perang Nihavand
di Zagros membuka (menaklukkan) daerah tersebut dengan menghancurkan tentara
Sâsâni yang tersisa; Babilon di Mesir (Fusthâth/Kairo lama) direbut.
642 M:
· Iskandariah direbut; Barqah
(Tripolitania) disergap (642-643); penyergapan-penyergapan ke arah pantai
Makran, Iran tenggara.
5. Kebijakan-kebijakan
politik dan pengaturan pemerintahan Umar bin Khattab.
· Mengatur seluruh strategi perluasan
islam bahkan pada beberapa hal sampai dengan strategi teknis.
· Menegakkan keadilan tanpa pandang bulu,
menindak orang-orang yang dholim dengann tegas (dicopot jabatannya, dll).
· Membentuk Hakim (Qadhi) di kota besar
(Madinah, Syam, Mesir, dan Persia).
· Membentuk lembaga keuangan dan
melakukan sensus penduduk.
· Mengendalikan seluruh sistem
pemerintahan dengan ketat (supervise/ pengendalian ketat).
· Menekankan keimanan, tanggung jawab
sosial diatas pribadi hidup sederhana, keteladanan kepada seluruh
wakil-wakilnya didaerah.
· Umar melarang memberi zakat pada
muallaf.
· Dimulai penanggalan Hijriyah
berdasarkan Hijrahnya Umat Islam, sebagai upaya penguatan identitas muslim.
· Talak tiga sekali ucapan
· Pembagian harta ghonimah yang
tersentral & membentuk departemen keuangan.
· Melakukan sensus penduduk.
· Penghapusan nikah mut’ah
· Melarang mengumpulkan hadits, kemudian
membiarkannya.
6. Selain
kebijakan-kebijakan yang progressif, umar juga mengendalikan islam saat itu
dengan pola kepemimpinan sosial yang baik, yakni:
· Pola hidup Umar yang sederhana, dan
sangat mengutamakan kesejahteraan umatnya khususnya orang fakir miskin daripada
keluarganya sendiri.
· Kasus saudara Umar yang minta bagian
maal lebih banyak, yang ditolak, karena lebih mendahulukan muslim yang
mempunyai jasa terhada islam terlebih dahulu, berdasarkan masuknya, dan
kualitas jasanya.
· Kasus anaknya Amr bin Ash yang
menganiaya orang miskin yang kemudian dihukum dengan keras.
· Kasus seorang Yahudi yang mengadu ke
Umar karena rumahnya digusur oleh Amr di Mesir, yang kemudian Amr diperingatkan
oleh Umar dengan tulang yang digaris dengan pedangnya.
· Kasus pembantu yang mencuri malah
dibela, malah juragannya yang dihukum sebab tidak melaksanakan haknya.
· Kasus anaknya Umar bin Khattab yang
minum Khamr kemudia dihukum 2 kali lipat oleh umar langsung kemudian sakit
& meninggal.
· Saat perjalanan menuju ke Palestina
gantian dengan pembantunya serta sikap Umar melihat sambutan mewahnya Muawiyah
· Kasus saat paceklik Umar hidup prihatin
sama seperti rakyatnya, dan senantiasa mengontrol keadaan umatnya, bahkan pada suatu
malam ada seorang ibu yang memasak batu untuk menenangkan anaknya karena tidak
punya makanan, ketika Umar tahu hal itu, maka dia langsung turun tangan
menyelesaikannya saat itu juga. Karena takut akan pertanggung jawaban nantinya
diakherat.
· Sangat takut akan pertanggung jawaban
sebagai pemimpin di akherat, sehingga dia benar-benar totalitas untuk membantu
umatnya.
7. Terbunuhnya
Umar bin Khattab.
· Umar meninggal pada tahun 644 pada usia
sekitar 52 (ada yang mengatakan 54 dan 60) tahun, akibat luka-luka yang
ditikamkan oleh Abu Lulu’ah, budak dari Persia milik Mughirah ibn Syu’bah yang
tidak puas atas keputusan Umar menyangkut nasibnya.
· Sebelum meninggal Umar bin Khattab
mnemilih 6 orang dewan Syuro’ untuk memilih penggantinya, dan mereka dilarang
memilih anaknya Umar sendiri Abdullah bin Umar (lihat proses pemilihan Utsman).
Utsman bin Affan
Utsman bin Affan adalah
khalifah ke-3 dalam sejarah Islam. Pengangkatan Utsman tidak seperti
pengangkatan khalifah sebelumnya,Ustman diangkat menjadi khalifah setelah
diadakan musyawarah oleh para sahabat yang ditunjuk oleh Umar melalui surat
wasiatnya. Hal tersebut dilakukan setelah Uhtmar bin Khattab tidak dapat
memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera
setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar
mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan
Rasulullah. Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang
bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf,
Saad bin Abu Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi tholib.
Nama
panggilannya Abu Abdullah dan gelarnya Dzunnurrain (yang punya
dua cahaya). Sebab digelari Dzunnuraian karena Rasulullah menikahkan
dua putrinya untuk Utsman; Roqqoyah dan Ummu Kultsum. Ketika Ummu Kultsum
wafat, Rasulullah berkata; “Sekiranya kami punya anak perempuan yang ketiga,
niscaya aku nikahkan denganmu.” Dari pernikahannya dengan Roqoyyah lahirlah
anak laki-laki. Tapi tidak sampai besar anaknya meninggal ketika berumur 6 tahun
pada tahun 4 Hijriah.
Utsman juga
dikenal sebagai pedagang yang hebat dan kekayaannya yang banyak. Namun
demikian, kekayaannya itu tidak membuatnya sombong. Utsman sangat dikenal
dengan kedermawanannya. Banyak materi yang disumbangkannya untuk perjuangan
Islam.
Nama ibu beliau
adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Beliau masuk Islam atas ajakan Abu Bakar,
yaitu sesudah Islamnya Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haristah. Beliau adalah
salah satusahabat besar dan utama Nabi Muhammad SAW, serta termasuk pula
golongan as-Sabiqun al-Awwalin, yaitu orang-orang yang terdahulu Islam dan
beriman.
Menikahi 8
wanita, empat diantaranya meninggal yaitu Fakhosyah, Ummul Banin, Ramlah dan
Nailah. Dari perkawinannya lahirlah 9 anak laki-laki; Abdullah al-Akbar,
Abdullah al-Ashgar, Amru, Umar, Kholid, al-Walid, Sa’id dan Abdul Muluk. Dan 8
anak perempuan.
Di masa
pemerintahan Utsman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian
yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut.
Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini. Dengan adanya
perluasan wilayah, maka banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut
dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Selain itu, adanya pertukaran pemikiran
antara penduduk asli dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan
berkembang dengan baik. Dari segi sosial budaya, Utsman juga membangun mahkamah
peradilan. Hal ini merupakan sebuah terobosan, karena sebelumnya peradilan
dilakukan di mesjid. Utsman juga melakukan penyeragaman bacaan Al Qur’an juga
perluasan Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi.
Penyeragaman bacaan dilakukan karena pada masa
Rasulullah Saw, Beliau memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab untuk
membaca dan menghafalkan Al Qur’an menurut lahjah (dialek) masing-masing.
Seiring bertambahnya wilayah Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa yang memeluk
agama Islam, pembacaan pun menjadi semakin bervariasi .Akhirnya sahabat
Huzaifah bin Yaman mengusulkan kepada Utsman untuk menyeragamkan
bacaan. Utsman pun lalu membentuk panitia yang diketuai oleh Zaid bin
Tsabit untuk menyalin mushaf yang disimpan oleh Hafsah dan
menyeragamkan bacaan Qur’an. Perluasan Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi
sendiri dilakukan karena semakin bertambah banyaknya umat muslim yang
melaksanakan haji setiap tahunnya.
Pemerintahan
Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya.
Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena
fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang
berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu
tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang
baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh
kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah
bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang
menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah
kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di
antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang
dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan
Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang
duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya
itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia
juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh
kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. Itu semua
akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’, meskipun Utsman tercatat
paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan
mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah
Perjuangan Ali Bin Abi thalib bersama
Rasulullah SAAW
Secara
positif, landasan dakwah Nabi saw. adalah mengajak umat manusia kepada
perdamaian dan membebaskan mereka dari setiap ancaman kehancuran dan kerugian
perang. Ia memulai dakwah dari kota Mekah, kota sentral kekuatan jahiliah yang
dikuasai oleh orang-orang kafir Quraisy. Dasar gerakan dan pemikiran mereka
adalah kebodohan, kecongkakan, dan egoisme. Mereka adalah kaum yang keras
kepala, sombong, dan bersikeras untuk mengadakan perlawanan terhadap Rasulullah
saw. Di samping itu, mereka melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang
beriman kepada missi Nabi saw. Kondisi ini menyebabkan mereka harus berhijrah
ke Habasyah demi menyelamatkan diri mereka dari kekerasan dan tekanan kaum
kafir Quraisy.
Pada
saat itu, Rasulullah saw. dilindungi oleh Singa Padang Pasir, Abu Thalib, dan
putranya, Imam Ali as. Setelah Sang Singa ini kembali ke haribaan Ilahi untuk
selamanya, ia tidak memiliki lagi pendukung untuk berlindung diri. Kesempatan
tersebut digunakan oleh kaum kafir Quraisy untuk bersekongkol membunuhnya.
Mengetahui rencana dan makar jahat ini, ia segera berhijrah ke Yatsrib
(Madinah). Di Madinahnya memperoleh sambutan yang hangat dan perlindungan dari
penduduknya. Mengetahui peristiwa ini, kaum kafir Quraisy bertambah berang dan
marah seperti orang kebakaran jenggot. Mereka sepakat untuk menyulut api
peperangan dengan penduduk Yatsrib dan berupaya mengerahkan seluruh sarana dan
kekuatan ekonomi untuk menyerang dan melumpuhkan mereka.
Ali as. senantiasa siap siaga di samping Rasulullah saw.
untuk melindunginya dan melakukan serangan balik dalam seluruh peperangan yang
disulut oleh kaum kafir Quraisy itu. Rasulullah saw. menjadikan Ali as. sebagai
komandan perang yang bertugas di garis depan.
Sebagian peperangan yang pernah
diikuti Imam Ali as. adalah berikut ini:
1. Perang Badr
Dalam
sejarah, peristiwa Badr telah mencatat kemenangan yang gemilang bagi Islam dan
muslimin. Perang ini adalah pukulan yang telak bagi musyrikin. Dalam perang
ini, Allah swt. telah memuliakan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw.,
menghinakan dan menaklukan para musuhnya. Pahlawan ksatria pada perang ini
adalah Imam Amirul mukminin Ali as. Pedang Ali menghantarkan mereka ke ambang
kematian. Kepala musyrikin dan para penentang Tuhan tertebas habis oleh pedang
tersebut. Ketangkasan dan kegigihan Ali dalam perang tidak diragukan lagi
sehingga Jibril turun dan menyampaikan pujian untuknya dengan ungkapan: “Tidak
ada pedang selain Dzul Fiqâr dan tidak ada pemuda selain Ali.”
Kami telah menjelaskan perang
Badr ini dan peran positif Imam Ali as. secara rinci pada Mawsû’ah Al-Imam
Amirul Mukminin Ali as., jilid ke-2.
2. Perang Uhud
Dengan
penuh duka yang mendalam, kaum kafir Quraisy menerima informasi kekalahan
pasukannya dan kerugian yang berlipat ganda di front pertempuran Badar. Hindun,
ibu Mu’âwiyah, termasuk salah seorang yang begitu merasa terpukul dan berduka
dengan kekalahan itu. Ia melarang orang-orang Quraisy, baik kaum laki-laki
maupun kaum wanita, untuk menangisi para perajurit yang terbunuh di medan
Badar. Duka dan kesedihan itu tidak akan pernah padam di dalam lubuk hati
mereka sebelum mereka dapat melakukan balas dendam.
Abu
Sufyân bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan pada perang Uhud. Dialah
yang memberikan semangat kepada masyarakat jahiliah Quraisy untuk memerangi
Rasulullah saw. Mereka mengumpulkan harta benda dan dana untuk membeli
peralatan dan perbekalan perang. Himbauan Abu Sufyân itu disambut baik oleh
masyarakat demi memerangi Rasulullah saw.
Pasukan Abu Sufyân keluar
menuju medan Uhud dengan penuh semangat dan hati yang menggelora disertai oleh
kaum wanita mereka sampai peperangan berakhir. Hindun memimpin pasukan wanita.
Kaum wanita ini bergerak sembari menabuh genderang dan mendendangkan syair:
Bangkitlah
wahai putra-putra Abdi Dar.
Bangkitlah wahai para penjaga
negeri tak gentar.
Pukulkan pedang kalian dengan
bak halilintar.
Sementara
itu, Hindun sendiri menyanyikan dendang khusus yang ia tujukan kepada pasukan
Quraisy dengan suara yang lantang:
Jika
kalian maju berperang, kami akan peluk kalian dan gelar permadani.
Jika kalian mundur, kami akan
berpisah dengan kalian sampai mati.
Pasukan
kaum musyrikin Quraisy ketika itu berjumlah tiga ribu orang. Sementara pasukan
muslimin hanya berjumlah tujuh ratus orang.
Seorang
prajurit musyrikin yang bernama Thalhah bin Abi Thalhah maju ke depan dengan
bendera komando di tangannya. Ia mengangkat suranya tinggi-tinggi: “Hai para
sahabat Muhammad, apakah kalian yakin bahwa Allah akan mempercepat kami pergi
ke neraka dengan pedang-pedang kalian, dan mempercepat kalian menuju ke surga
dengan pedang-pedang kami? Siapakah yang berani duel denganku?”
Pejuang
Islam, Imam Ali as., segera menimpali dan menyerangnya. Dengan sabetan
pedangnya, lelaki itu jatuh ke tanah dengan berlumuran darah. Ali as.
membiarkannya jatuh dan tidak meneruskan perlawanannya. Tidak lama kemudian,
darahnya tumpah dan ia binasa. Kaum muslimin menyambut kemenangan Ali as. itu
dengan penuh gembira, sementara kaum musyrikin menjadi hina dan nyali mereka
surut. Bendera komando pasukan musyrikin Quraisy diambil alih oleh yang lain.
Imam Ali as. menyambut dan melakukan serangan kepada beberapa orang Quraisy
seraya menebas kepala-kepala mereka dengan pedangnya yang tajam. Hindun selalu
membangkitkan semangat jiwa prajurit kaum musyrikin dan mendorong mereka agar
menyerang kaum muslimin. Setiap kali seorang dari mereka gugur, ia menawarkan
celak sembari berseloroh: “Kamu
ini hanyalah seorang wanita
pengecut. Pakailah celak mata ini ini.”
Sangat
disayangkan, dalam peperangan ini kaum muslimin mengalami kekalahan yang pahit
dan kerugian yang memalukan. Hampir saja bendera Islam jatuh karena itu. Hal
itu terjadi karena kecerobohan sekelompok pasukan Islam yang berani menyalahi
pesan Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan sekelompok
pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair agar tetap diam di atas bubkit
demi menjaga kaum muslimin dari arah belakang. Ia sangat menekankan agar mereka
tidak bergeser sedikitpun dari tempat tersebut. Ketika pertempuran sedang
terjadi, para pemanah itu berhasil membidikkan panah-panah mereka ke arah
pasukan kafir Quraisy dan banyak membunuh mereka.
Pasukan
Quraisy mengalami kekalahan telak dan mereka kabur tunggang-langgang dengan
meninggalkan berbagai senjata dan barang-barang berharga. Kaum muslimin mulai
mengumpulkan harta rampasan perang. Melihat harta kekayaan yang melimpah itu,
sebagian besar pasukan pemanah meninggalkan pos mereka untuk turut serta
berebut harta rampasan perang. Mereka telah lupa akan pesan Nabi saw. untuk
tetap tinggal di pos tersebut. Khalid bin Walid, pimpinan pasukan kafir
Quraisy, melihat kondisi para pemanah tersebut dan merasa memiliki kesempatan
emas. Ia segera melakukan serangan terhadap para pemanah yang masih tersisa di
atas bukit itu sehingga banyak pasukan muslimin yang terbunuh. Setelah itu,
Khalid dan pasukannya menyerang para sahabat Nabi saw. dari arah belakang dan
berhasil memporak-porandakan dan membunuh prajurit muslimin. Dalam serangan
ini, prajurit musyrikin banyak membunuh tokok-tokoh pasukan muslimin.
Pembelaan Ali as. Terhadap Nabi saw.
Kekalahan
yang sangat menyakitkan menimpa kaum muslimin. Sebagian pasukan mereka kabur.
Hal ini membuat mereka takut dan gentar menghadapi kaum musyrikin. Akhirnya
sebagian besar mereka meninggalkan Nabi saw. yang telah dikepung oleh
musuh-musuh Islam. Nabi saw. mengalami luka-luka parah dan jatuh terjerembab ke
dalam lubang yang dibuat oleh Abu Amir dan sengaja ia sembunyikan agar kaum
muslimin jatuh ke dalamnya. Ketika itu, Ali as. berada di samping Rasulullah
saw. Ia segera memegang tangan Nabi saw., sementara Thalhah bin Abdullah
mengangkatnya sehingga ia dapat berdiri.
Pada
saat itu, Nabi saw. menoleh kepada Ali as. seraya bertanya: “Hai Ali, apa yang
telah mereka lakukan?” Ali as. menjawab dengan hati yang tersayat: “Ya
Rasulallah, mereka menyalahi janji dan kabur tunggang langgang.”
Sekelompok orang Quraisy
berusaha melakukan serangan terhadap Nabi saw. sehingga ia terpojok. Ia berkata
kepada Ali: “Halaulah mereka, hai Ali.” Ali as. menyerang mereka tanpa
menunggangi kuda, dan berhasil membunuh empat orang anak Abu Sufyân bin ‘Auf
dan enam orang dari kelompok penyerang tersebut. Setelah berusaha dengan susah
payah, akhirnya Imam Ali as. berhasil menghalau dan mempermalukan mereka.
Kemudian
datang lagi kelompok yang lain untuk menyerang Nabi saw. Di antara mereka
terlihat Hisyâm bin Umayyah. Ali as. pun berhasil membunuhnya, dan mereka yang
masih tersisa kabur. Setelah itu, kelompok ketiga datang menyerang Rasulullah
saw. Di tengah-tengah mereka terlihat Busyr bin Mâlik. Ali as. juga berhasil
membunuhnya, dan sisa kelompok itu pun kabur dengan kekalahan yang memalukan.
Melihat keberanian dan
ketangkasan Ali as., Jibril memohon izin kepada Allah untuk turun. Ia berkata
kepada Nabi saw.: “Perlawanannya sungguh membuat kagum para malaikat.”
Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Kenapa tidak, karena Ali dariku dan aku
darinya.” Jibril menimpali: “Dan aku dari kalian berdua.”
Dengan
penuh keperkasaan dan ketangkasan, Ali as. senantiasa teguh membela Nabi saw.
Selama pembelaan ini, ia tertebas pedang sebanyak enam belas tebasan. Setiap
tebasan tersebut telah berhasil membuat Ali as. jatuh tersungkur ke atas tanah.
Tetapi tak seorang pun yang membangunkannya selain Jibril.
Seluruh musibah dan bencana
gala yang dialami oleh pejuang Islam dan penghulu orang-orang yang bertakwa ini
hanyalah demi membela Islam semata.
Dalam
perang Uhud ini, pejuang Islam abadi yang bernama Hamzah, paman Nabi saw.
meneguk cawan syahadah. Ketika mengetahui kesyahidannya, Hindun sangat gembira
dan berusaha mencari jenazahnya. Tatkala berhasil menemukan jenazahnya,
bagaikan anjing hutan ia merobek perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya,
kemudian mengunyahnya dan memuntahkannya kembali. Ia juga mengiris hidung dan
kedua telinga Hamzah, dan kedua anggota tubuh mulia itu ia jadikan kalung. Hal
itu menggambarkan betapa kedengkian dan kebuasan Hindun yang sangat mendalam
serta fanatismenya yang sangat tinggi.
SuAmînya,
Abu Sufyân, juga tidak mau ketinggalan. Ia bergegas menuju jenazah Hamzah dan
berbicara kepadanya dengan penuh caci maki dan kedengkian seraya berkata: “Hai
Abu Amârah, masa telah berganti. Kini telah tiba saatnya, dan dendam nafsuku
menjadi reda.” Kemudian Abu Sufyân mengangkat tombaknya dan menancapkannya ke badan
Hamzah yang sudah tak bernyawa lagi itu sembari berkata: “Rasakanlah,
rasakanlah!” … Setelah berbuat demikian, ia berpaling dengan hati gembira dan
suka ria. Hatinya yang penuh dengan kemusyrikan, kedengkian, dan sifat-sifat
buruk itu merasa puas dengan terbunuhnya Hamzah.
Setelah
peperangan usai, Nabi saw. menghampiri jenazah pamannya, Hamzah, yang telah
dirobek-robek perutnya oleh Hindun. Dengan hati yang sangat sedih dan pilu, ia
memandang jasad pamannya itu seraya berkata: “Hai Hamzah, aku belum pernah
ditimpa musibah seperti musibah yang kualami lantaran kepergianmu ini. Aku
tidak pernah merasa murka sebagaimana kemurkaanku atas tragedi ini. Sekiranya
Shafiyyah tidak berduka dan setelah wafatku nanti tidak dijadikan tradisi,
niscaya sudah aku tinggalkan tubuhmu sehingga menjadi mangsa binatang-binatang
buas dan burung-burung ganas. Jika sekiranya Allah memenangkanku atas
orang-orang kafir Quraisy dalam sebuah peperangan nanti, maka aku akan
mencacah-cacah tiga puluh orang dari mereka.”
Muslimin
yang lain pun bangkit menuju jasad Hamzah. Mereka berkata: “Jika kami dapat
mengalahkan orang-orang kafir itu pada suatu hari nanti, pasti kami akan
mencacah-cacah badan mereka dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh
seorang Arab pun.”
Melihat
hal ini, Jibril turun menyampaikan ayat yang berbunyi: “Jika engkau menyiksa
mereka, maka siksalah sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadapmu. Tetapi
jika kamu bersabar, maka hal itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Bersabarlah, kesabaranmu tiada lain kecuali hanya karena Allah. Janganlah
bersedih atas mereka dan janganlah merasa sempit hati terhadap tipu daya
mereka.” (QS. An-Nahl [16]:129-127)
Mendengar ayat ini, Nabi saw.
memaafkan para musuh dan bersabar, dan juga melarang muslimin untuk melakukan
pencacahan terhadap tubuh-tubuh musuh. Ia bersabda: “Sesungguhnya mencacah
tubuh itu haram sekalipun tubuh anjing galak.”
Satu-satunya
peperangan yang membawa kekalahan telah bagi kaum muslimin adalah perang Uhud.
Ibn Ishâq berkata: “Sesungguhnya Uhud merupakan hari duka, bencana, ujian
berat. Allah menguji orang yang beriman dengannya dan menampakkan orang munafik
yang melahirkan keimanan pada lisannya, sementara ia menyimpan kekufuran dalam
hatinya. Lebih dari itu, Uhud adalah hari kehormatan bagi orang-orang yang
dimuliakan dengan mati syahid.”
Seusai peperangan, Rasulullah
saw. memberitahukan kepada Ali as. bahwa selepas peperangan Uhud ini, kaum
musyrikin tidak akan dapat mengalahkan kaum muslimin hingga Allah memberikan
kemenagan bagi muslimin.
Demikianlah perang Uhud ini
berakhir. Sebagian kisah perang Uhud ini telah kami jelaskan dalam buku kami,
Mawsû’ah Al-Imam Amiril Mukminin, jilid ke-2.
3. Perang Khandak
Nama
lain perang Khandak adalah perang Ahzab. Hal itu lantaran beberapa kelompok
kaum musyrikin bergabung membentuk satu kekuatan tunggal untuk menyerang
pasukan Rasulullah saw. Pada peristiwa perang ini, kaum muslimin betul-betul
merasa khawatir dan diliputi rasa takut yang dahsyat. Faktor utamanya adalah
karena pasukan musyrikin yang sangat kuat dan orang-orang Yahudi juga turut
bergabung dengan mereka. Seluruh pasukan mereka berjumlah sepuluh ribu
prajurit. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tiga ribu prajurit saja.
Ketika melukiskan sejauh mana
rasa takut yang dialami oleh kaum muslimin dalam peperangan ini, Al-Qur’an
berfirman: “Ketika mereka mendatangimu dari bagian atas dan bagian bawah kalian
dan ketika mata-matamu terbelalak dan rasa takutmu sampai menembus hati.” (QS.
Al-Ahzâb [33]:10)
Pada perang ini, Allah telah
memberikan kemenangan bagi Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib as. Dialah
orang yang telah berhasil menghancurkan dan memporak-porandakan barisan kaum
musyrikin.
Menggali Parit
Ketika
Nabi saw. mengetahui pasukan Quraisy dan Bani Ghathafân ingin melakukan
serangan terhadap muslimin, ia saw. mengumpulkan para sahabat dan
memberitahukan kepada mereka rencana musuh tersebut. Ia saw. meminta pendapat
mereka masing-masing demi menghalau musuh Islam itu. Salman Al-Fârisî, salah
seorang sahabat terkemuka, mengusulkan untuk menggali parit di sekitar kota
Madinah.
Nabi
saw. menyetujui pandangannya itu dan memerintahkan para sahabat untuk menggali
parit. Ide tersebut merupakan taktik perang yang jitu untuk menyelamatkan
pasukan muslimin dari serangan musuh Islam. Melihat parit digali di sekitar
kota itu, pasukan musuh bingung dan tidak memiliki jalan lain untuk melancarkan
serangan terhadap muslimin. Dengan terpaksa, mereka hanya dapat menggunakan
anak panah. Kaum muslimin pun menjawab serangan mereka dengan serangan yang
sama. Saling-melempar anak panah pun terjadi antara kedua pasukan tersebut
tanpa terjadi perangan terbuka di antara mereka.
Imam Ali as. Bertanding dengan ‘Amr
Orang-orang
kafir Quraisy merasa jengkel dengan kondisi perang semacam ini. Karena hal itu
tidak memberi kemenangan kepada mereka. Mereka berusaha mencari ukuran lebar
parit yang agak sempit agar kuda-kuda mereka dapat melompati dan menyeberangi
parit. Di tengah-tengah mereka terlihat ‘Amr bin Abdi Wud. Dia adalah ksatria
Quraisy dan penunggang kuda Kinânah yang tangguh pada masa jahiliah.
‘Amr
menggenggam pedang. Ia laksana benteng kokoh. Ia menaiki kudanya dengan penuh
bangga dan congkak. Dengan segenap kekuatan ia dapat melompati parit. Kaum
muslimin yang menyaksikan hal itu merasa ciut, kerdil, dan gemetar. ‘Amr maju
menghadap mereka dengan perlahan tapi pasti. Dengan suara yang lantang dan
penuh penghinaan ia berkata: Hai perajurit Muhammad, adakah yang berani
melawanku?”
Hati
kaum muslimin bak tercabut dari tempatnya. Mereka diliputi rasa takut. Untuk
kedua kalinya ‘Amr angkat suara: “Adakah yang berani melawanku?”
Tak
seorang pun berani menjawab. Tetapi pejuang Islam, Imam Amirul Mukminin as.
menjawab: “Aku yang melawannya, ya Rasulullah.”
Rasulullah
saw. merasa khawatir atas keselamatan putra pamannya itu. Ia berkata:
“Ketahuilah, dia adalah ‘Amr!”
Imam Ali as. menaati perintah
Rasulullah saw. dan segera duduk kembali. Kembali ‘Amr mengejek kaum muslimin
dan berkata: “Hai para sahabat Muhammad, mana surga yang kalian duga akan
memasukinya jika kalian terbunuh? Siapakah di antara kalian yang
menginginkannya?”
Pasukan
muslimin membisu seribu bahasa. Imam Ali as. tetap memaksa Nabi saw. agar
memberi izin untuk melawannya. Tak ada lagi alasan bagi Nabi untuk menolak
desakan Ali as. Nabi saw. menetapkan sebuah predikat bagi Ali as. sebagai tanda
keagungan dan kehormatan. Ia saw. bersabda: “Seluruh iman telah keluar untuk
menentang seluruh kekufuran.”
Sungguh betapa predikat kehormatan
yang kekal abadi dan bersinar bak matahari. Rasulullah saw. telah memberikan
predikat “seluruh imam dan Islam” bagi Abul Husain dan predikat “seluruh
kekufuran” bagi ‘Amr.
Setelah
itu Nabi saw. mengangkat kedua tangan seraya memanjatkan doa dan harapan kepada
Allah swt. agar menjaga putra pamannya itu. Ia saw. berkata: “Ya Allah, Engkau
telah mengambil Hamzah dariku di perang Uhud dan mengambil ‘Ubaidah di perang
Badar. Maka jagalah Ali pada hari ini. Wahai tuhanku, janganlah Engkau biarkan
aku sendirian. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pewaris.”
Ali
as. maju menyerang dengan penuh semangat. Ia tidak merasa takut dan gentar
sedikitpun terhadap ‘Amr bin Abdi Wud. Ia bangkit dengan tekad yang kokoh
membaja bak ksatria yang tak ada bandingannya. ‘Amr terkejut dengan pemuda yang
berani maju untuk melawan dan tak gentar.
‘Amr
bertanya: “Siapa kamu?”
Imam
Ali menjawab dengan meremehkannya: “Aku adalah Ali bin Abi Thalib.”
‘Amr menampakkan rasa kasihan
kepadanya seraya berkata: “Dahulu, ayahmu adalah teman baikku.”
Imam Ali as. tidak bergeming
sedikit pun dengan celotehan ‘Amr itu. Ia malah menjawab: “Hai ‘Amr, engkau
telah berjanji kepada kaummu bahwa tidak seorang pun dari Quraisy yang
mengajakmu kepada tiga karakter melainkan engkau pasti menerimanya?”
‘Amr
menjawab: “Ya, itulah janjiku.”
Ali as. berkata: “Aku
mengajakmu kepada Islam.”
‘Amr
tertawa seraya berkata kepada Imam Ali sembari menghina: “Jadi, aku harus
meninggalkan agama nenek moyangku? Jangan usik masalah ini!”
Ali
as. berkata: “Aku akan menahan tanganku untuk membunuhmu, dan engkau bebas
kembali.”
Mendengar ucapan lancang itu,
‘Amr marah dan berkata: “Jika begitu, bangsa Arab pasti membincangkan
kepengecutanku.”
Imam Ali as. melontarkan
tawaran ketiga yang ‘Amr sendiri telah berjanji untuk menerimanya. Imam Ali
berkata: “Kalau begitu, aku mengajakmu duel.”
‘Amr
sangat terkejut dengan keberanian pemuda yang telah berani menantang dan
menginjak-injak kehormatannya. ‘Amr turun dari kudanya dan dengan cepat
melayangkan pedangnya ke arah leher Imam Ali as. Imam menangkis serangannya
dengan prisai. Tetapi pedang ‘Amr dapat menembus ke bagian kepala Imam Ali as.
dan menciderainya. Muslimin yakin bahwa Imam Ali as. telah menjumpai ajal.
Tetapi Allah swt. menolong dan menjaganya. Imam Ali as. kembali menyerang ‘Amr
dengan pedang hingga ia roboh. Ksatria Quraisy dan simbol kemusyrikan itu jatuh
tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah seperti seekor sapi yang
disembelih berlumuran darah.
Imam
Ali as. mengucapkan takbir yang diikuti oleh pasukan muslimin. Tulang punggung
kemusyrikan telah runtuh dan kekuatannya telah lumpuh. Sementara Islam telah
menggapai kemenangan yang gemilang melalui kegagahan Imam Al-Muttaqîn as.
Sekali lagi Nabi saw. menghadiahkan predikat agung kepada Imam Ali as. di sepanjang
sejarah. Ia bersabda: “Sesungguhnya pertempuran Ali bin Abi Thalib atas ‘Amr
bin Abdi Wud pada perang Khandak adalah lebih utama daripada amal umatku hingga
Hari Kiamat.”
Salah
seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman berkata: “Seandainya
keutamaan Ali as. dengan membunuh ‘Amr pada perang Khandak itu dibagi-bagikan
kepada seluruh kaum muslimin, niscaya keutamaan itu akan mencukupi mereka.”
Kemudian
turun ayat kepada Rasulullah saw.:.”.. dan Allah menghindarkan orang-orang
mukmin dari peperangan (dengan memberikan kemenangan kepada mereka) ….” (QS.
Al-Ahzâb [33]:25)
Tentang
tafsir ayat ini Ibn Abbâs berkata: “Sesungguhnya Allah mencukupkan kaum
mukminin dengan pertempuran Ali as.”
Di samping itu, Imam Ali as.
juga berhasil membunuh seorang prajurit Quraisy lainnya yang bernama Naufal bin
Abdullah. Dengan demikian, Quraisy mengalami kekalahan yang telak. Ketika itu
Rasulullah saw. bersabda: “Kini kita telah mengalahkan mereka, dan mereka tidak
akan mampu mengalahkan kita.”
Akhirnya, pasukan kafir Quraisy
mengalami kerugian dan kegagalan yang fatal. Sebaliknya, muslimin tidak
mengalami kekalahan sedikit pun dalam peperangan ini.
4. Penaklukan Benteng Khaibar
Setelah
Allah swt. memuliakan Nabi-Nya dan menghinakan kaum kafir Quraisy, ia berpikir
bahwa program kaum muslimin tidak akan berjalan lancar, negara Islam tidak akan
damai, dan slogan muslimin tidak akan terangkat tinggi di muka bumi ini selama
kekuatan Yahudi sebagai musuh bebuyutan Islam dari sejak dulu hingga saat itu
masih bercokol. Pusat kekuatan dan eksistensi mereka terletak di benteng
Khaibar. Benteng ini adalah pusat produksi senjata modern pada masa itu. Di
antara senjata yang mereka produksi adalah manjanik yang mampu menembakkan
peluru-peluru api. Ketika itu Yahudi adalah sebuah kekuatan yang siap membantu
setiap golongan yang ingin memerangi Islam dengan berbagai senjata dari pedang,
panah, hingga prisai.
Nabi
saw. memerintah pasukan muslimin agar melakukan serangan terhadap benteng
Khaibar. Ia menyerahkan komando pasukan kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar tiba
di benteng Khaibar dengan pasukannya, orang-orang Yahudi melemparinya dengan
manjanik sehingga Abu Bakar merasa kalah dan kembali dengan ketakutan dan
gemetar. Pada hari kedua, Rasulullah saw. menyerahkan komando pasukan kepada
Umar bin Khattab. Ternyata Umar tidak berbeda dengan sahabatnya itu. Ia kembali
dengan membawa kegagalan. Selama benteng Khaibar tetap tegar dan tertutup
rapat, tak seorang pun yang akan berhasil menguasai benteng tersebut.
Setelah
muslimin tidak mampu menumbangkan benteng Khaibar dan kepemimpinan Abu Bakar
dan Umar dianggap gagal, Nabi saw. mengumumkan bahwa ia akan mengangkat seorang
komandan perang yang Allah swt. akan memberikan kemenangan di tangannya. Ia
bersabda: “Besok aku akan berikan bendera komando perang kepada seorang
laki-laki yang mencintai Allah swt. dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya juga
mencintainya. Dia tidak akan mundur sampai Allah memberikan kemenangan
kepadanya.”
Mendengar
maklumat tersebut, muslimin tidak sabar lagi ingin mengetahui siapakah komandan
pasukan yang Allah akan menganugerahkan kemenangan kepadanya itu. Mereka tidak
menduga bahwa ia adalah Imam Ali as. Karena pada saat itu ia sedang menderita
sakit mata. Ketika sinar matahari pagi mulai menyingsing, Nabi saw. memanggil
Ali as. Ketika itu kedua matanya dibalut dengan kain. Setelah berada di hadapan
Nabi saw., ia melepaskan kain pembalut itu dari kedua mata Ali as. Lalu Nabi
saw. memoleskan ludahnya kepada kedua matanya. Seketika itu juga sakit mata Ali
as. sembuh.
Rasulullah
saw. berkata: “Hai Ali, ambillah bendera ini sehingga Allah memberikan
kemenangan kepadamu!”
Pejuang Islam itu menerima
bendera komando tersebut dari Nabi saw. dengan tekad yang kuat membaja dan
gagah perkasa. Imam Ali as. bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apakah aku
perangi mereka sampai mereka memeluk Islam?”
Nabi saw. menjawab:
“Laksanakanlah tugas ini sampai engkau dapat menundukkan mereka. Lalu ajaklah
mereka kepada Islam. Beritahukan kepada kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah,
jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang saja dari mereka melalui
tanganmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”
Sang
panglima perang, Ali as., segera melakukan serangan dengan gagah berani. Tak
sebersit pun rasa takut dan gentar tergores di dalam hatinya. Ia mengangkat
bendera komando itu tinggi-tinggi menuju benteng Khaibar. Ia berhasil mencabut
pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai prisai untuk menangkal serangan
orang-orang Yahudi. Pasukan Yahudi pun merasa gentar ketakutan dan pucat pasi.
Gerangan ksatria apakah ini?! Ia mampu mencopot pintu benteng Khaibar dan
menjadikannya sebagai perisai! Padahal pintu itu tidak dapat dicopot kecuali
oleh empat puluh orang kuat. Bagaimana mungkin pintu itu dapat dicopot oleh
satu orang saja?! Sungguh hal itu merupakan keajaiban yang sangat menakjubkan.
Imam Ali as. Melawan Marhab
Marhab
adalah seorang ksatria Yahudi yang gagah berani. Ia menantang Imam Ali as.
untuk bertanding. Marhab maju dengan mengenakan penutup wajah pelindung buatan
Yaman dan batu berlobang yang ia letakkan di kepalanya seraya bersyair:
Khaibar
tahu aku adalah Marhab.
Penghunus pedang pahlawan tangguh.
Bagai singa kekar menyerang
musuh.
Imam
Ali as. menyambutnya. Ia mengenakan jubah berwarna merah. Sebagai jawAbân syair
Marhab, ia bersyair:
Akulah
yang dinamai oleh ibuku Haidar.
Sang pemberani dan singa tak
gentar.
Singa penerkam musuh bak
halilintar.
Kedua lenganku terbuka lebar
kekar.
Kekar dan tangguh bak singa
hutan keluar.
‘Kan kutebas setiap batang
leher pengingkar.
‘Kan kuperangi mereka untuk
yang benar.
‘Kan kuperangi mereka dengan
pedangku yang tegar.
Tidak
seorang perawi pun yang berbeda pendapat bahwa syair tersebut adalah syair Imam
Ali as. Dalam bait-bait syairnya itu, Imam Ali as. menjelaskan kegagahan,
kekuatan, ketangkasan, keberanian, dan ketegarannya dalam menghadapi orang-orng
kafir dan para pembangkang.
Imam
Ali as. maju menghadapi Marhab dengan keberaniannya yang luar biasa. Dengan
cepatnya menyabetkan pedangnya ke arah kepala Marhab hingga menembus penutup
kepalanya. Marhab pun terhuyung jatuh ke atas tanah dengan darah yang
bersimbah. Kemudian ia menyeret mayat Marhab dan membiarkannya terkapar menjadi
mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung pemakan bangkai. Dengan itu,
Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang gemilang bagi Islam. Benteng
Khaibar telah ditaklukkan dan Allah telah menghinakan kaum Yahudi. Peperangan
berakhir dan Imam Ali as. memberikan pelajaran keberanian yang senantiasa
dikenang di sepanjang sejarah.
5. Penaklukan Kota Mekah
Allah
swt. telah menetapkan kemenangan yang nyata atas hamba dan rasul-Nya, Muhammad
saw. dan menghinakan kekuatan syirik dan tiran. Kekuatan musuh-musuh Islam
telah mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Sementara kekuasaan Islam
terbentang di semanjung jazirah Arabia dan bendera tauhid berkibar megah.
Rasulullah
saw. melihat bahwa kemenangan yang gemilang bagi Islam tidak akan terealisasi
sepenuhnya, kecuali dengan penaklukan kota Mekah sebagai benteng kemusyrikan
dan kekufuran kala itu yang senantiasa memeranginya selama masih berada di
sana. Nabi saw. meninggalkan kota Mekah dan telah memiliki kekuatan. Ia
bergerak menuju kota itu dengan bala tentara yang terlatih sebanyak sepuluh
ribu atau lebih prajurit bersenjata lengkap.
Tetapinya
menyembunyikan tujuan keberangkatan itu kepada para prajuritnya. Karenanya
khawatir jika orang-orang kafir Quraisy tahu, mereka akan mengadakan perlawanan
dan terjadi pertumpahan darah di tanah Haram. Oleh karena itu, ia merahasiakan
tujuan perjalanan tersebut sehingga kedatangan pasukan muslimin yang secara
tiba-tiba tersebut dapat mengejutkan penduduk Mekah.
Pasukan
muslimin bergerak dengan cepat dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan sedikitpun
hingga mereka memasuki daerah pinggiran kota Mekah, sementara penduduknya
tengah lelap dan lalai. Rasulullah saw. segera memerintahkan para sahabat agar
mengumpulkan kayu bakar. Seketika itu juga, setumpuk besar kayu bakar telah
terkumpul menggunung.
Pada
malam gelap gulita itu, Nabi saw. memerintahkan agar para sahabat menyulut kayu
bakar-kayu bakar itu, sehingga jilatan-jilatan api terlihat dari dalam kota
Mekah. Melihat kejadian itu, Abu Sufyân betul-betul terkejut dan khawatir atas
jiwa raganya. Ia berkata kepada Badîl bin Warqâ’ yang tengah berada di
sampingnya: “Aku belum pernah melihat sinar api seterang malam ini sama
sekali.” Badîl segera menimpali: “Demi Allah, ini adalah kobaran api
peperangan.”
Abu
Sufyân mencemooh Badîl sembari berkata: “Kobaran api peperangan! Cahaya api dan
bala tentaranya tidak mungkin sesedikit ini.”
Rasa
takut menyelimuti Abu Sufyân. Abbâs segera mendatanginya. Ia mengetahui
kedatangan pasukan Islam untuk menguasai kota Mekah. Ia berkata kepada Abu
Sufyân: “Hai Abu Hanzhalah!”
Abu sufyân yang mengenalnya
segera berkata: “Apa ini Abul Fadhl?”
“Ya”, jawab Abbâs pendek.
“Ayah dan ibuku menjadi
tebusanmu”, tegas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: “Celaka
engkau, hai Abu Sufyân. Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah khalayak. Esok
paginya akan menaklukkan Quraisy.”
Darah Abu Sufyân seketika itu
membeku. Ia sangat khawatir terhadap diri dan kaumnya. Dia berkata dengan nada
gemetar: “Apa yang harus kita lakukan?”
Abbâs segera memberikan solusi
sehingga darahnya terjaga. Ia berkta: “Demi Allah, jika Rasulullah berhasil
menangkapmu, ia pasti akan menebas batang lehermu. Naikilah ke punggung keledai
tua ini. Aku akan mendatangi Rasulullah untuk mohon perlindungan untukmu.”
Abbâs
membonceng Abu Sufyân yang sedang gemetar ketakutan. Abu Sufyân tidak bisa
tidur semalam suntuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya karena
berat dan banyaknya kejahatan yang telah ia lakukan atas kaum muslimin.
Setibanya di hadapan Rasulullah saw., ia berkata kepadanya: “Celaka engkau, hai
Abu Sufyân! Apakah hingga kini belum tiba waktunya untuk kamu mengakui bahwa
tidak ada tuhan selain Allah?”
Nabi
saw. tidak menampakkan dendam atas berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh
Abu Sufyân terhadapnya. Ia telah mengulurkan tirai atas kejadian-kejadian
tersebut demi menyebarkan ajaran Islam yang tidak menaruh dendam terhadap
kejahatan musuh-musuhnya. Abu Sufyân merengek di hadapan Nabi saw. untuk
memohon maaf seraya berkata: “Demi ayah dan ibuku, betapa engkau pemaaf,
berkepribadian mulia, dan penyambung persaudaraan. Demi Allah, sungguh aku
mengira bahwa sekiranya ada tuhan lain selain Allah, pasti ia tidak akan
membutuhkanku.”
Nabi
saw. menoleh ke arah Abu Sufyân seraya berkata dengan lemah lembut: “Celaka
engkau, hai Abu Sufyân! Belumkah tiba waktunya untuk kamu mengenal bahwa aku
adalah utusan Allah?”
Ketika
itu Abu Sufyân tidak mampu lagi menyembunyikan kemusyrikan dan kekufuran yang
sudah terukir dalam relung hatinya. Dia berkata kepada Rasulullah saw.: “Demi
ayah dan ibuku, betapa lembutnya engkau dan betapa mulia dan penyambung
persaudaraan engkau. Adapun masalah ini, hingga saat ini di dalam hatiku masih
terdapat sesuatu.”
Abbâs yang mendengar hal itu
segera memberikan peringatan kepadanya bila ia tidak bersaksi atas kenabian dan
tidak masuk Islam. Abbâs berkata: “Celakalah engkau. Masuklah Islam!
Bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamd adalah
Rasulullah sebelum lehermu ditebas!
Lelaki
kotor dan keji itu tidak memiliki jalan lain. Ia terpaksa masuk Islam dengan
lisannya. Sementara kekufuran dan kemusyrikan masih tetap terpendam di dalam
relung hatinya.
Nabi
saw. memerintahkan pamannya, Abbâs, agar menahan Abu Sufyân di sebuah lembah
yang sempit sehingga prajurit Islam melewatinya dan ia menyaksikan mereka. Hal
itu agar Quraisy merasa takut untuk mengadakan perlawanan. Abbâs melaksanakan
perintah Nabi saw. Para prajurit Islam melaluinya dengan membawa aneka ragam
senjata.
Abu
Sufyân bertanya kepada Abbâs: “Siapakah ini?”
“Sulaim”, jawab Abbâs pendek.
“Aku tidak ada urusan dengan
Sulaim”, tukas Abu Sufyân.
Tidak lama kemudian sekelompok
pasukan berkuda lainnya lewat. Abu Sufyân bertanya lagi: “Siapakah ini?”
“Mazînah”, jawab Abbâs singkat.
“Aku tidak ada urusan dengan
Mazînah”, tukas Abu Sufyân.
Kemudian Nabi saw. lewat dengan
membawa pasukan berkuda yang berpakain hijau dengan pedang terhunus. Ia
dikelilingi para sahabatnya yang pemberani. Melihat itu, Abu Sufyân merasa
gentar. Ia bertanya: “Siapakan pasukan berkuda itu?”
“Itu adalah Rasulullah bersama
Muhajirin dan Anshar”, jawab Abbâs pendek.
“Sungguh kerajaan kemenakanmu
telah hebat”, tukas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: “Hai Abu
Sufyân, itulah kenabian.”
Abu
Sufyân menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata dengan menghina: “Ya,
kalau begitu.”
Lelaki jahiliah ini tidak
beriman kepada Islam. Ia hanya mengerti tentang kerajaan dan kekuasaan. Setelah
itu Abbâs membebaskannya. Abbâs segera masuk ke dalam kota Mekah dan berteriak
dengan keras: “Hai kaum Quraisy, Muhammad telah datang kepada kalian dengan
pasukan yang kalian tidak mungkin dapat melawannya. Barang siapa yang memasuki
rumah Abu Sufyân, maka ia akan aman.”
Orang-orang Quraisy berkata
kepada Abbâs: “Rumahmu tidak dapat menjamin kemanan kami?”
“Barang siapa yang menutup
pintunya, maka ia akan aman. Dan barang siapa yang masuk ke dalam masjid, maka
ia akan aman”, teriak Abbâs lagi.
Hati
kaum Quraisy menjadi tenang. Mereka segera masuk ke dalam rumah mereka dan
masjid. Sementara itu, Hindun menentang Abu Sufyân. Hatinya dipenuhi
kekecewaan. Ia berteriak dengan keras untuk membangkitkan amarah kaum Quraisy
terhadap Abu Sufyân: “Bunuhlah lelaki keji dan kotor ini! Tindakannya tidak
sesuai dengan tindakan seorang pemimpin suatu kaum.”
Abu
Sufyân memperingatkan kaum Quraisy agar tidak melawan dan mengajak mereka untuk
menyerah. Nabi saw. memasuki kota Mekah bersama bala tentara Islam. Allah swt.
telah menghinakan Quraisy dan membahagiakan muslimin yang tertindas selama ini.
Nabi saw. segera menuju ke Ka’bah untuk menghancurkan patung-patung sembahan
orang-orang kafir Quraisy. Ia saw. menikamkan tombak di bagian mata Hubal
sambil berkata: “Telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan. Sesungguhnya
kebatilan itu pasti sirna.”
Kemudiannya
saw. memerintahkan Ali as. agar menaiki pundaknya untuk menghancurkan
patung-patung dan membersihkan Baitullah yang suci itu darinya. Ali as.
mengangkat patung-patung itu dan melemparkannya ke atas tanah hingga hancur.
Dengan itu, patung-patung itu telah hancur di tangan pahlawan Islam,
sebagaimana patung-patung pernah dihancurkan oleh kakeknya, Ibrahim
Khalîlullâh.
Haji Wadâ’
Nabi
saw. merasa bahwa ia tidak lama lagi akan berangkat menghadap ke haribaan suci
Ilahi. Karena itu, ia merasa perlu untuk melakukan haji ke Baitullah untuk
menetapkan jalan-jalan keselamatan buat umat manusia. Pada tahun ke-10 Hijriah,
ia berangkat menunaikan ibadah haji. Ia mengumumkan kepada segenap penduduk
bahwa tidak lama laginya akan berangkat menuju ke alam akhirat dan meninggalkan
dunia fana ini untuk selamanya. Ia bersabda: “Aku tidak tahu, barangkali
setelah tahun ini aku tidak dapat berjumpa lagi dengan kalian untuk selamanya
dalam kondisi seperti ini.”
Dengan informasi itu, jamaah
haji merasa takut dan khawatir. Mereka melakukan tawaf dengan perasaan sedih
sembari berguman: “Nabi saw. telah memberitahukan kematian dirinya.”
Nabi
saw. menetapkan jalan-jalan keselamatan yang dapat menjaga umat dari segala
fitnah dan menjamin kehidupan mereka yang mulia. Ia saw. bersabda: “Hai manusia,
aku tinggalkan buat kalian dua pusaka yang sangat berharga, yaitu kitab Allah
dan ‘Itrahku, keluargaku.”
Ya,
berpegang teguh kepada kitab Allah, mengamalkan isinya, dan ber-wilâyah kepada
Ahlul Bait as. adalah sebuah jaminan bagi umat dari penyimpangan dalam
kehidupan dunia ini. Setelah selesai melakukan ibadah haji, Rasulullah saw.
menyampaikan sebuah ceramah yang sangat indah. Dalam ceramah ini ia telah
menjelaskan poin-poin yang sangat penting dan ajaran-ajaran Islam yang sangat
benderang.
Ia
mengakhiri ceramah itu dengan pesan: “Sepeninggalku nanti, jangan sampai kalian
kembali kepada kekufuran dan kesesatan sehingga segolongan dari kalian membunuh
segolongan yang lain. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua buah
pusaka yang kalian pasti tidak akan tersesat untuk selamanya bila berpegang
teguh kepadanya. Yaitu kitab Allah dan ‘Itrahku, keluargaku. Apakah aku telah
menyampaikan hal ini kepada kalian?”
“Ya”,
jawab mereka serentak.
Kemudian Nabi saw. bersabda
lagi: “Ya Allah, saksikanlah! Sesungguhnya kalian akan dimintai tanggung jawab.
Hendaknya kalian yang hadir di sini menyampaikan kepada yang gaib.”
Kami telah memaparkan teks
ceramahnya saw. ini dalam Mawsû’ah Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 2.
Muktamar Ghadir Khum
Setelah
Nabi saw. menunaikan ibadah haji, ia kembali ke kota Madinah bersama rombongan
jamaah haji. Ketika ia sampai di Ghadir Khum, malaikat Jibril turun kepadanya
dengan membawa perintah Allah swt. yang maha penting. Allah swt. memerintahkan
agarnya menghentikan rombongan di tempat tersebut guna mengangkat Ali as.
sebagai khalifah dan imam atas umat setelahnya wafat. Juga ditekankan bahwa ia
tidak boleh menunda-nunda pelaksanaan perintah itu. Ketika itu turun ayat: “Hai
Rasulullah, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau
tidak melakukannya, maka berarti engkau belum menyapaikan semua risalah-Nya.
Dan Allah menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Mâ’idah [5]:67)
Rasulullah
saw. menerima perintah tersebut dengan penuh perhatian. Dengan tekad yang kuat
membaja dan kehendak yang bulat, ia menghentikan perjalanan di tengah-tengah
terik matahari padang pasir. Ia memerintahkan agar kafilah jamaah haji berhenti
untuk mendengarkan ceramah yang akannya sampaikan kepada mereka. Nabi saw.
mengerjakan salat. Setelah usai salat, ia memerintahkan supaya pelana-pelana
unta disusun menjadi mimbar. Setelah itu, ia saw. menyampaikan ceramah dengan
penuh semangat. Ia menyampaikan berbagai kesulitan dan rintangan yang melitang
jalan dakwah Islam yang pada saat itu umat manusia beada dalam kesesatan.
Kemudian ia menyelamatkan mereka. Ia telah menanamkan pondasi kultur (Islam)
dan kemajuan umat manusia. Kemudian ia saw. menoleh kepada mereka seraya
berkata: “Lihatlah bagaimana kalian memperlakukan dua puaka berharga ini.”
Ketika
itu sebagian orang bertanya: “Apakah dua pusaka itu, ya Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab: “Pusaka
yang lebih besar adalah kitab Allah; satu bagian jungnya berada di tangan Allah
dan satu ujungnya yang lain berada di tangan kalian. Maka berpegang teguhlah
kepadanya dan janganlah kalian tersesat. Pusaka lainnya adalah lebih kecil,
yaitu keluargaku. Sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Mengetahui
memberitahukan kepadaku bahwa kedua pusaka itu tidak akan berpisah hingga
keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Kemudian aku mohon hal itu kepada
Tuhanku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya, karena kalian pasti akan
binasa, dan janganlah kalian lalai dari keduanya, niscaya kalian akan hancur
….”
Kemudian Nabi saw. mengangkat
tangan washî dan pintu kota ilmunya, Ali as. dan mewajibkan muslimin untuk
ber-wilâyah kepadanya. Ia telah menobatkan dia sebagai pemimpin umat untuk
menunjukkan mereka kepada jalan yang lurus.
Beliau saw. bersabda: “Hai
manusia, siapakah yang lebih utama terhadap orang-orang beriman daripada diri
mereka sendiri?”
Mereka
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Nabi saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah adalah pemimpinku dan aku adalah pemimpin kaum mukminin.
Maka aku lebih utama terhadap mereka daripada diri mereka sendiri. Barang siapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali ini adalah pemimpinnya.” Ia
mengulangi ucapan ini sampai tiga kali.
Setelah
itunya melanjutkan: “Ya Allah, bimbinglah orang yang ber-wilâyah kepada Ali dan
musuhilah orang yang memusuhinya. Cintailah orang yang mencintainya dan
murkailah orang yang memurkainya. Tolonglah orang yang menolongnya dan
hinakanlah orang yang menghinakannya. Dan sertakanlah hak bersamanya di mana
saja dia berada. Hendaknya yang hadir menyampaikan hal ini kepada yang gaib ….”
Dengan
ucapan tersebut, Nabi Muhammad saw. mengakhiri pidatonya, sebuah pidato yang
menentukan Ali as. sebagai rujukan seluruh umat manusia sepeninggalnya saw. Ia
telah menentukan seorang pemimpin yang mengatur seluruh urusan kamu muslimin
setelahnya.
Kaum
muslimin menyambut hal itu dengan membaiat Imam Ali as. dan menyampaikan ucapan
selamat atas jabatannya sebagai pemimpin muslimin. Nabi saw. memerintahkan para
Ummul Mukminin agar membaiatnya. Umar bin Khaththab pun maju menghadap Ali as.
untuk mengucapkan selamat dan menyalAmînya.
Ketika
itu Umar mengucapkan ucapannya yang masyhur: “Selamat, hai putra Abi Thalib,
engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin laki-laki dan
perempuan.”
Hassân bin Tsâbit pun bangkit
untuk membacakan bait-bait syairnya:
Nabi
memanggil mereka pada hari Ghadir Khum, dengarkanlah Rasul memanggil.
Dia berkata: “Siapaklah maula
dan nabi kalian?” Mereka menjawab dan tidak seorang pun buta: “Tuhanmu adalah
maula kami, dan engkau adalah nabi kami. Tak seorang pun di antara kami yang
menentang.”
Dia bekata: “Bangkitlah, hai
Ali. Aku rela engkau sebagai imam dan penunjuk jalan setelahku.
Barang siapa aku adalah
walinya, maka Ali adalah walinya. Hendaklah kalian menjadi pengikutnya yang
jujur.”
Dia berdoa: “Ya Allah,
cintailah orang yang membantunya dan musuhilah orang yang mendengkinya.”
Sesungguhnya membaiat Imam Ali
as. pada peristiwa Ghadir Khum adalah bagian dari missi Islam. Barang siapa
yang mengingkarinya, berarti ia telah mengingkari Islam, seperti ditegaskan
Allamah Al-‘Alâ’ilî.
Duka Abadi
Setelah
Nabi saw. menyampaikan risalah Tuhan dan menjadikan Ali as. sebagai pemimpin
umat, kesehatannya mulai menurun hari demi hari. Ia terjangkit penyakit demam
berat seperti panas yang membakar. Ia mengenakan sehelai selimut. Jika
istri-istrinya dan para penjenguk meletakkan tangan mereka di atas selimut
tersebut, mereka pasti merasakan panasnya.
Kaum muslimin
berbondong-bondong menjenguknya. Ia memberitahukan kepada mereka tentang
ajalnya dan menyampaikan wasiatnya yang abadi. Ia berkata: “Hai manusia,
sebentar lagi nyawaku segera akan diambil, lalu aku akan dibawa. Aku sampaikan
kepada kalian sebuah amanat demi menyempurnakan hujah bagi kalian. Aku
tinggalkan untuk kalian kitab Allah dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku.”
Ajal
begitu cepat mendekat kepadanya. Pada waktu itu, ia membaca ada glagat-glagat
fanatisme golongan di dalam diri para sahabat untuk berusaha keras mengalihkan
kekhalifahan dari Ahlul Baitnya as. Ia berpikir bahwa jalan yang paling tepat
adalah mengosongkan kota Madinah dari mereka dengan cara mengutus mereka untuk
memerangi bangsa Romawi. Ia menyiapkkan satu pasukan perang di bawah komando
Usâmah bin Zaid yang masih berusia muda. Ia saw. tidak menyerahkan kepemimpinan
pasukan kepada sahabat yang sudah berumur. Bahkan ia malah memerintahkan mereka
menjadi prajurit Usâmah. Mereka merasa keberatan untuk bergabung dalam pasukan
perang Usâmah itu.
Mengetahui
hal itu, Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidato. Ia
berkata: “Laksanakanlah perintah Usâmah! Semoga Allah melaknat orang-orang yang
membelot dari pasukan Usâmah.”
Perintahnya yang tegas ini
tidak menyenangkan hati mereka. Mereka malah memasukkan ucapannya itu ke
telinga kanan dan mengeluarkannya dari telinga kiri. Mereka tidak menaati
perintahnya. Ada beberapa pembahasan penting lain dari bagian sejarah Islam ini,
dan kami telah memaparkannya dalam kitab Hayâh Al-Imam Hasan as.